Bagian dari pasal Hukum Alam ini berbunyi kurnag lebih
sebagai berikut: "Semua peristiwa diciptakan oleh penyebab (the
cause) atau kalau dibalik: peristiwa hanyalah hasil/akibat (effect)".
Sampai pada pengertian ini tidak ada yang merasa sulit memahaminya. Tetapi
ketika dikaitkan dengan diri kita dan realita hidup yang kita terima, barulah
menjadi persoalan tersendiri. Konon Mark Victor Hansen, pengarang buku
berseri Chicken Soap for the Soul harus memutar pertanyaan
antara "are you the cause or the effect?" sebanyak 287 (dua
ratus delapan puluh tujuh) kali untuk memastikan pilihan setelah mengalami
kebangkrutan bisnis secara total yang memaksanya hidup menggelandang. Ia
akhirnya memilih bahwa semua peristiwa hidup (realita) adalah ‘effect’
dan dirinyalah ‘the cause’ itu. Karena Mark yakin bahwa masih banyak
individu yang berpikir sebaliknya, maka ia menuangkan
pikiran-pikirannya dalam buku tersebut diatas. Karya Mark telah menjadi
best seller dan mengantarkannya menerima piala Horatio Alger Award.
Tak syak lagi, kalau kita amati sebenarnya problem hidup Mark adalah
representasi dari problem besar umat manusia
terlepas apakah hal itu disadari atau tidak sama sekali. Problem
tersebut terletak pada penyikapan pilihan. Ada yang memilih bahwa realita
yang dihadapi adalah penyebab mengapa dirinya menjadi seperti sekarang ini.
Tak terhitung jumlah kejahatan dalam berita TV dari mulai level kecil sampai
besar yang diakui oleh pelakunya
karena ‘dipaksa’ oleh keadaan. Ungkapan dipaksa dalam berbagai variasinya
merupakan indikator bahwa individu
tersebut sebenarnya menjadi korban (effect).
|
||
Pilihan
|
||
Memang tidak akan ada lembaga pengadilan manapun yang
memveto hukuman atas pilihan kita antara sebagai the cause atau the
effect. Tetapi pilihan kita menciptakan
konsekuensi yang sangat membedakan.
Kalau kita memilih sebagai the effect, maka penyikapan hidup
yang paling dekat adalah adanya resistensi untuk mengubah diri dan berarti
telah melawan pasal hukum alam lain lagi bahwa semua kemampuan aktif manusia
diperoleh dengan cara menjalani proses pembelajaran (baca: mengubah diri dari
ketidakmampuan masa lalu menjadi kemampuan baru). Lebih sering lagi,
kesadaran sebagai the effect mudah menyulut kita untuk menyalahkan
orang lain dan keadaan ketika effect yang kita terima tidak sesuai
dengan keinginan atau yang diharapkan.
Sementara dengan memilih sebagai the cause, optimalisasi dan
kontrol berada di tangan kita. Di level pengetahuan, rasanya tidak sulit
menebak kalau dikatakan semua orang ingin menjadi the cause bagi dirinya. Tetapi yang
dibutuhkan bukan sekedar mengetahui melainkan apa yang disebut oleh Mark
dengan “Awakening Call”, sebuah kesadaran baru adanya panggilan untuk
mengubah diri dari the effect ke the cause. Kesadaran baru
demikian bukanlah anugerah melainkan murni proses pencapaian yang dibarengi
dengan menyingkirkan benda-benda yang tidak kita butuhkan tetapi kita
abadikan di dalam sehingga benda tersebut benar-benar menjadi penghalang
transformasi.
|
||
Membiarkan
|
||
Salah satu penghalang transformasi kesadaran adalah
tembok yang sering diistilah dengan sebutan “Self-excusing”.
Dari pendapat para pakar ditemukan perbedaan mendasar antara self excusing
dengan self-forgiving meskipun sama-sama punya arti literal ‘memaafkan’.
Self excusing adalah membiarkan diri anda tak terurusi (letting
yourself down), sementara self-forgiving adalah memaafkan dalam
arti mengakui kesalahan dan bergerak (moving & acknowledging)
untuk membenarkannya (Frank Gilbert: 1999). Dengan kata lain, self-excusing
adalah penyikapan yang kurang
gagah menghadapi diri atau rasa tidak percaya diri (low self confidence)
mulai dari domain cara pikir (mindset) sampai ke tindakan.
Umumnya kita lebih terfokus untuk memasang mekanisme penyerangan agar bisa
lebih gagah menghadapi orang lain dan sebaliknya menghadapi diri sendiri
sering membuat kita minder. Jadi telah terjadi pemutarbalikan fungsi
kegagahan.
Mekanisme self-excusing diungkapkan melalui berbagai macam bentuk
mulai dari pemikiran, perasaan,
keyakinan, dan tindakan. Sebagian di antaranya dapat disebutkan di sini:
|
||
1.
|
Pembenaran Diri
|
|
Keinginan kita untuk berubah terhalang oleh keyakinan atas kebenaran
sendiri yang berlawaan dengan kebenaran universal (the universal
principles). Jika kita meyakini kalau tidak melanggar aturan kita tidak
akan hidup maka keyakinan demikian akan membuat kita menjadi korban karena
keyakinan itulah yang akan menjadi realita hidup. Padahal peristiwa yang sebenarnya terjadi
adalah murni masalah model penyikapan yang kita pilih.
|
||
2.
|
Penipuan Diri
|
|
Transformasi kesadaan dari the effect ke the cause juga
dihalangi oleh mekanisme ‘politicking’ atau menipu diri secara halus.
Contoh yang sering dibuktikan oleh realita adalah kemandirian orang cacat
(maaf, misalnya orang buta) yang menolak menipu-diri dengan menjalani profesi
tertentu seperti ahli pijat, tokoh masyarakat. Logikanya, kalau ada orang
cacat fisik bisa mandiri berarti tidak akan ada orang normal yang tidak bisa
hidup mandiri. Tetapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Mandiri dan
tidak mandiri tidak ada hubungan mutlak dengan kenormalan fisik tetapi
berhubungan dengan kualitas menolak politiciking. Memanjakan diri juga
sering menjebak kita pada praktek politicking di mana kita merasa
tidak mampu mengoptimalkan potensi.
|
||
3.
|
Perbandingan
|
|
Mekanisme perbandingan yang sering menghalangi transformasi adalah
perbandingan dalam hal negatif. Begitu kita membandingkan dengan sisi
kelemahan/kejelekan orang lain, maka yang muncul adalah semangat untuk
membiarkan diri . Perbandingan yang dianjurkan adalah membandingkan
keunggulan orang lain dengan diri kita untuk dipelajari. Atau dalam bisnis dikenal dengan istilah kompetisi,
bukan kongkurensi
|
||
4.
|
Kerelaan Menjadi Korban
|
|
Mekanisme yang biasa kita terapkan untuk merelakan-diri adalah menuding orang
lain atau keadaan sebagai penyebab yang menghalangi kita menjadi the cause
atas diri kita. Biasanya kerelaan ini disebabkan oleh kesalahan membuat
kalkulasi ukuran diri dan ukuran masalah yang kita hadapi atau ketidakmampuan
mengambil keputusan berdasarkan fakta aktual tentang diri kita (who are
we?).
|
||
5.
|
Penolakan Tanggung Jawab
|
|
Mekanisme menolak adalah pembatas yang kita ciptakan sendiri atau
kesengajaan untuk menghentikan perjalanan proses transformasi di dalam diri
yang umumnya tidak kita sadari. “Orang miskin seperti saya mana mungkin bisa
menjadi kaya”. Ungkapan demikian adalah pernyataan-diri bahwa kita dengan
demikian tidak dikenai tanggung jawab untuk mengubahnya dan melemparkan
tanggung jawab ini kepada orang lain yang kita anggap harus bertanggung
jawab.
|
||
6.
|
Penolakan Konsekuensi
|
|
Apapun yang kita pilih akan
melahirkan konsekuensi tertentu yang apabila kita terima dengan pengakuan dan
pemahaman akan mendekatkan jarak transformasi dari the effect ke the
cause. Tetapi, umumnya kita menciptakan pilihan dan menolak konsekuensi
yang muncul kemudian. Kalau kita memilih tidak mau mengembangkan diri,
mestinya secara rasional kita merelakan diri dengan konsekuensi ketinggalan,
bukan menyalahkan orang lain yang lebih maju. Dengan menolak berarti
memperlambat proses transformasi.
|
||
7.
|
Kebrutalan
|
|
Kebrutalan (dehumanization) adalah mekanisme menolak kebenaran
yang diyakini. Orang bisa bertindak brutal kalau dirinya mengunci hati,
pendengaran dan penglihatan. Bahkan kebrutalan tersebut akan semakin
menjadi-jadi ketika tidak secara cepat dilakukan upaya menarik diri.
Mekanisme demikian jelas akan menghalangi proses transformasi kesadaran dari the
effect ke the cause.
|
||
Evolusi Diri
|
||
Self-excusing yang menghalangi kita menyadari sebagai the
cause dari realita yang kita terima saat ini merupakan produk yang
dihasilkan oleh sejumlah pilihan yang berlangsung sejak kecil tepatnya usia
remaja di mana kita baru mulai bersentuhan dengan konflik. Dapat dipastikan,
kebanyakan orang memiliki ketujuh hambatan di atas atau lebih, tetapi yang
membedakan adalah kandungan kadarnya. Untuk menentukan jumlah kadar yang
terberat dibutuhkan penemuan terhadap prinsip hidup (pendirian),
nilai/keyakinan, cita-cita yang telah dirumuskan ke dalam tujuan hidup dan
posisi di mana kita berada saat ini. Perubahan diri yang tidak diberangkatkan
pada aspek kedirian yang mendasar seringkali kalah oleh virus kehidupan yang
membuat keinginan berubah dari the effect ke the cause menjadi
keinginan umum yang tidak punya nyali.
Adapun alasan mengapa lebih tepat memilih jurus evolusi ketimbang
revolusi adalah karena perubahan diri identik dengan perubahan nasib
(peristiwa yang secara sirkulatif/repetitif terjadi). Untuk mengubah nasib
memang di atas kertas putih membutuhkan dunia baru tetapi pada
prakteknya kenyataan sering
menunjukkan bahwa hal tersebut tidak membutuhkan perubahan peristiwa
eksternal. Mungkin lebih tepat
kalau dikatakan, dunia baru
dibutuhkan tetapi bukan syarat mutlak kalau memang tidak bisa dilakukan
sekarang ini, tetapi yang mutlak dibutuhkan adalah diri yang baru (sikap,
pola pikir dan perilaku baru).
Langkah evolutif yang dapat kita jalankan untuk mengubah diri
(menjalankan transformasi kesadaran) adalah:
|
||
1.
|
Menyadari
|
|
Orang akan tetap mempertahankan diri meskipun salah, jika dirinya tidak
sadar bahwa kesalahan itu memang benar-benar salah. Teori manajemen
menjelaskan, perubahan harus diawali dengan proses kesadaran membuat
identifikasi tentang apa/bagian mana yang kita inginkan untuk diubah dan
mengapa perubahan tersebut kita inginkan (baca: alasan paling mengakar).
Dalam hal ini perlu kita ingat bahwa kesadaran tersebut harus
menyatakan keinginan bukan ketakutan. Jika ini yang terjadi maka yang
diketahui seseorang hanyalah bagaimana menghindari kegagalan, bukan meraih
kesuksesan.
|
||
2.
|
Mengganti
|
|
Apa yang telah kita sadari
untuk diubah itulah yang harus kita ganti. Begitu kita menyadari adanya
godaan untuk menggunakan kebenaran sendiri, segera kita ganti dengan
lawannya. Tehnik lain adalah dengan cara challenging (menantang) bahwa
kita melawan bentuk keyakinan, pemikiran, dan perasan yang kita yakini salah.
Tehnik lain lagi adalah membuat affirmasi secara berulang-ulang (baca: metode
dzikir) ketika kesadaran muncul saat dialog-diri berlangsung. Ketiga tehnik
ini dapat mempertebal kualitas, apa yang sering disebut ‘the moment of
truth’ atau ‘critical accident’ di mana kita memiliki ‘personal
picture’ yang lebih jelas seperti yang kita inginkan atau cara pendekatan
yang lebih gamblang bagaimana mengubah diri.
|
||
3.
|
Mengintrospeksi
|
|
Untuk mendeteksi sejauhmana stabilitas transformasi
telah berlangsung, maka kita membutuhkan intropeksi. Di sini yang kita
lakukan adalah membuat penilaian apa yang sudah diraih dan apalagi yang perlu
untuk dilakukan. Di samping itu instropeksi juga berguna untuk mendeteksi
kadar self-excusing yang bisa jadi masih tetap bercokol dalam diri
kita hanya gara-gara lupa membuat
elaborasi, analogi, atau interpretasi
dalam memahami dan melaksanakan. Misalnya saja politicking. Kalau
praktek yang kita rekam sejelas perbedaan antara orang buta yang mandiri dan
orang normal yang tidak mandiri, pikiran kita bisa langsung paham tetapi
bagaimana dengan mentalitas ‘begging’ (baca: meminta-minta, bukan
meminta) yang di-politicking? Memang diperlukan pengakuan yang
jujur untuk berani mengatakan kitalah yang menjadi penyebab ‘nasib’ kita hari
ini. Selamat memilih.
|
Posting Komentar